Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Askep PPOK
keperwatan medikal bedah penyakit paru obstruksi kronis
makalah ppok.
Penyakit paru obstruksi kronis
PPOK
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
MAKALAH
Oleh:
Ainurmalinda (717.6.2.0874)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Sumenep, 05 September 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Cover
Kata pengantar
Daftar isi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
1.2. Rumusan
1.3. Tujuan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik
2.1.1 Etiologi
2.1.2 Manifestasi klinis
2.1.3 Patofisiologi / pathway
2.1.4 woc ppok
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
2.1.6 Komplikasi
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
2.1.8 Penatalaksanaan Keperawatan
BAB 3 KASUS
BAB 4 PENUTUP
4.1. kesimpulan
4.2. saran
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi yang utama. Ada tiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal sebagai PPOM tersebut yaitu brinkhitis kronis, emfisema paru, dan asma bronkhiale.(American Thoracic Society, 1962)
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ppok?
2. Bagaimana etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi dan penatalaksanaan pada ppok?
3. Hal-hal apa saja yang terkait dalam pembuatan Askep ppok?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui seperti apa itu ppok
- Untuk mengetahui bagaimana etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi dan penatalaksanaan pada ppok
- Untuk mengetahui hal-hal yang terkait dengan penyakit paru obstruktif kronis
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
2.1.1 Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.
2.1.2 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
2.1.3 Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
2.1.4 Woc PPOK
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal. Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
- Acute Respiratory Failure (ARF)
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
- Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloadingakibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah:
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan:
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan:
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.Mukolitik dan ekspektoran.
e. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
f. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma
Penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis
Didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible).Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis
Termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema
Untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
2.1.8 Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) adalah:
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala:
1) Keletihan, kelemahan, malaise.
2) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
3) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
4) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda:
1) Keletihan.
2) Gelisah, insomnia.
3) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
b. Sirkulasi
Gejala:
1) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
Tanda:
1) Peningkatan tekanan darah.
2) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
3) Distensi vena leher atau penyakit berat.
4) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
5) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada).
6) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
7) Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
Gejala:
1) Peningkatan faktor resiko.
2) Perubahan pola hidup.
Tanda:
1) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
2) Makanan atau cairan
Gejala:
1) Mual atau muntah.
2) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
3) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
4) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronchitis)
d. Pernafasan
Gejala:
1) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
2) Lapar udara kronis.
3) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
4) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
5) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
6) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
7) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
Tanda:
1) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
2) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
3) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula, melebarkan hidung.
4) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel chest), gerakan diafragma minimal.
5) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
6) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
7) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
8) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
9) Tabuh pada jari-jari (emfisema).
e. Keamanan
Gejala:
1) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
2) Adanya atau berulangnya infeksi.
3) Kemerahan atau berkeringan (asma).
f. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido.
g. Interaksi social
Gejala:
1) Hubungan ketergantungan.
2) Kurang sistem pendukung.
3) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
4) Penyakit lama atau kemampuan membaik.
Tanda :
1) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress pernafasan.
2) Keterbatasan mobilitas fisik.
3) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
h. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala:
1) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
2) Kesulitan menghentikan merokok.
3) Penggunaan alkohol secara teratur.
4) Kegagalan untuk membaik.
2. Rencana pemulangan
a. Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan rumah atau mempertahankan tugas rumah.
b. Perubahan pengobatan atau program terapeutik.
Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah:
a. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang:
1) Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).
2) Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
3) Riwayat alergi pada keluarga.
4) Riwayat asma pada masa kanak-kanak.
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik berlebihan, polusi udara, infekasi saluran nafas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A) yang meliputi:
d. Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah:
1) Peningkatan dispnea (paling sering ditemukan).
2) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
3) Penurunan bunyi nafas.
4) Takipnea.
5) Ortopnea.
e. Gejala – gejala menetap pada proses penyakit dasar:
1) Asma
2) Batuk (mungkin produktif atau non produktif) dan perasaan dada seperti terikat.
3) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar tanpa stetoskop.
4) Pernafasan cuping hidung.
5) Ketakutan dan diaforesis.
f. Bronkitis
1) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
2) Inspirasi ronkhi kasar (crackles) dan mengi.
3) Sesak nafas.
4) Bronkitis (Tahap Lanjut)
5) Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi akibat dari hipoksemia kronis).
6) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh udema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmonal), secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue bloaters”.
g. Emfisem
1) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest”(diameter toraks anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
2) Fase ekspirasi memanjang.
3) Emfisema (Tahap Lanjut)
h. Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis pasien ini sering digambarkan secara klinis sebagai “pink puffers“.
1) Jari-jari tabuh.
3. Pemeriksaan diagnostic:
a. Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
b. Sinar x dada menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan pada area paru-paru.
c. Pemeriksaan fungsi pru menunjukkan peningkatan kapasitas paru-paru total (KPT) dan volume cadangan paru (VC), penurunan kapasitas vital (KV), dan volume ekspirasi kuat (VEK).
d. Jumlah Darah Lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin, hematokrit, dan jumlah darah merah (JDM).
e. Kultur sputum positif bila ada infeksi.
f. Esei imunoglobin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum (Immunoglobulin E) jika asma merupakan salah satu komponen dari penyakit tersebut.
4. Kaji persepsi diri sendiri tentang mengalami penyakit kronis.
5. Kaji berat badan dan rata-rata masukkan cairan dan diet harian.
6. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah:
1) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
7. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) adalah:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi:
Mandiri:
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
Kolaborasi:
a. Berikan obat sesuai indikasi.
1) Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
2) Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
3) Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol ruangan.
4) Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi:
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI sesuai instruksi untuk pasien.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus.
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
4) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
7) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Kolaborasi:
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi parenteral.
2) Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
3) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
4) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
d. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi:
Mandiri:
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan adekuat.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Kolaborasi:
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram, kultur atau sensitivitas.
2) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
Engram (2000) menambahkan intervensi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah:
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas.
Intervensi:
1) Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.
2) Lakukan penghematan energi dalam melaksanakan prosedur berikut:
3) Berikan bantuan dalam melaksanakan AKS sesuai dengan yang diperlukan.
4) Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan istirahat diantara kegiatan.
5) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan hasil gas darah arteri dan dapat diantisipasinya tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.
6) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan yang mudah dikunyah.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan tidur terpenuhi dengan keriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi:
1) Jika ada pengobatan untuk paru-paru aturlah pemberian obat tersebut untuk diberikan sebelum waktu tidur. Berikan obat anntitusif yang diprogramkan.
2) Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan. Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur jika diperlukan.
3) Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga dan pengharum ruangan.
4) Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi biasa.
5) Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman, biasanya dengan meninggikan bagian kepala tempat tidur sekitar 30 derajat.
BAB 3
KASUS
Tn.S 56 Th masuk 3 Maret 2013 dengan Diagnosa PPOK, jenis kelamin Laki-laki Agama Islam pekerjaan Tani, Pendidikan SD. Alamat Sendang Kulon. Alasan di rawat Sesak napas Keluhan utama : Sesak dan batuk Riwayat keluhan utama: riawayat penyakit dahulu: Sesak napas sejak 5tahun yang lalu. Riwayat penyakit sekarang : Sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit pasien sesak terus-menerus akhirnya keluarga membawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soetomo Surabaya. Riwayat kesehatan keluarga tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini. Riwayat kesehatan lain : Pasien pernah merokok, dan berhenti sejak sakit kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Observasi dan Pemeriksaan Fisik CM, GCS : 456, Keadaan umum : lemah Tanda-tanda vital : S= 37 oC, T= 130/80mmHg, Nadi= 104x/m, RR= 28x/m. Pernafasan melalui : hidung + terpasang 02 kanule ( 2 liter/menit ). Trachea tidak ada pembengkokan Cyanosis (-), dyspnea (+), batuk lendir putih, darah( )Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada simetris. Eliminasi urin : 400-500cc/hari, warna kuning, jernih, khas amoniak. Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 Tetes/menit. Spiritual Klien mengharapkan dengan perawatan yang diberikan bisa sembuh dan yakin dengan pertolongan Tuhan bisa sembuh, persepsi penyakitnya sebagai cobaan dalam hidup. Tetapi pasien tidak dapat melakukan sholat di RS. Pemeriksaan Lab AGD : - PH : 7,359 ( 7,35-7,45 ), PCO2 : 46,0 ( 35-45 ), PO2 : 115,0 ( 80-104 ), HCO3 : 25, Sputum : BTA (-)
Therapi. Infus RL : Dex.5% 1:1/ 24 jam ( 7 tts/menit ), Aminophylin 1 amp / 24 jam, - Tarbutalin 4x0,025 mg, Ciprofloxasin 2x500 mg, Nebulezer 4x ( Atroven : Agua ) = 1:1, Oksigen 2 liter / menit Diet TKTP
ASUHAN KEPERAWATAN PPOK
A.PENGKAJIAN
Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Alamat : Sendang Kulon
Keluhan Utama : sesak dan batuk
Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak nafas , sejak 2 hari sebelum masuk RS pasien sesak terus menerus, dan sering batuk.
Keadaan umum Compos mentis, GCS : E4,V5,M6, suhu : 37C, T : 130/80mmHg, N : 104 x/menit, RR: 28x/menit
Pernafasan melalui : hidung + terpasang 02 kanule ( 2 liter/menit ). Trachea tidak ada pembengkokan Cyanosis (-), dyspnea (+), batuk lendir putih, darah( )Whezeeng (+) / (+), Ronchi (+) / (+) dada simetris. Eliminasi urin : 400-500cc/hari, warna kuning, jernih, khas amoniak. Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 Tetes/menit. Spiritual Klien mengharapkan dengan perawatan yang diberikan bisa sembuh dan yakin dengan pertolongan Tuhan bisa sembuh, persepsi penyakitnya sebagai cobaan dalam hidup. Tetapi pasien tidak dapat melakukan sholat di RS. Pemeriksaan Lab AGD : - PH : 7,359 ( 7,35-7,45 ), PCO2 : 46,0 ( 35-45 ), PO2 : 115,0 ( 80-104 ), HCO3 : 25, Sputum : BTA (-)
Therapi. Infus RL : Dex.5% 1:1/ 24 jam ( 7 tts/menit ), Aminophylin 1 amp / 24 jam, - Tarbutalin 4x0,025 mg, Ciprofloxasin 2x500 mg, Nebulezer 4x ( Atroven : Agua ) = 1:1, Oksigen 2 liter / menit Diet TKTP
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami sesak nafas sejak 5 tahun yang lalu
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada yang mengalami sakit seperti ini
B. Pengkajian Pola Virginia Handerson
1. Pola Pernafasan
Sebelum sakit : Pasien dapat bernafas dengan normal dan tidak menggunakan alat bantu pernafasan .
Saat dikaji : pasien mengeluh sesak nafas dan tampak terpasang O2 kanul (2 liter/ menit)
2. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : Pasien makan 3x sehari dengan menu nasi, sayur dan lauk
Saat dikaji : Saat dirawat di rumah sakit, makan ¼ porsi pada menu yang disajikan di rumah sakit pada tyap kali jadwal makan
3. Kebutuhan Eliminasi
Sebelum sakit : BAB 1x sehari, fesesnya lunak, warna kuning dan BAK lancar , warna jernih kekuningan
Saat dikaji :BAB 1x sehari, fesesnya lunak, warna kuning dan BAK lancar , warna jernih kekuningan
4. Gerak dan keseimbangan
Sebelum sakit : Pasien dapat melakukan aktivitas tanpa gangguan
Saat dikaji : Pasien tampak keseimbangannya terganggu karenatidak bisa bernafas
5. Kebutuhan Istirahat dan tidur
Sebelum sakit : Pasien biasa tidur 8 jam sehari dan bangun pada pukul 05.00
Saat dikaji : Malam hari kadang terbangun karena sesak nafas dan batuk
6. Personal Hygiene
Sebelum Sakit : Mandi 2x sehari dan gosok gigi mandiri.
Saat dikaji : Pasien mandi dengan di seka oleh istrinya pagi dan sore, serta gosok gigi.
7. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Sebelum sakit : Pasien merasa aman dan nyaman jika bersama keluarga dan istrinya
Saat dikaji : Pasien mengeluh tidak nyaman karena sering sesak nafas dan batuk
8. Kebutuhan berpakaian
Sebelum sakit : Pasien ganti baju 2x sehari dan dapat berpakaian sendiri.
Saat dikaji : Memakai pakaian dibantu oleh anaknya.
9. Kebutuhan Spiritual
Sebelum sakit : Pasien dapat melakukan ibadah solat 5 waktu
Saat dikaji : Pasien tidak bisa sholat di RS dan berkeyakinan bahwa penyakitnya dapat sembuh karena pertolongan Tuhan.
10. Kebutuhan berkomunikasi dan berhubungan
Sebelum sakit : Hubungan pasien dengan keluarga baik biasa berkomunikasi dengan bahasa jawa.
Saat dikaji :Pasien mau berkomunikasi dengan perawat dengan ditemani anaknya
11. Temparatur tubuh
Sebelum sakit : Pasien biasa memakai pakaina tipis jika panas begitu juga sebaliknya
Saat dikaji : Pasien suhunya normal S : 37 C
12. Kebutuhan bekerja
Sebelum sakit : Pasien adalah seorang petani
Saat dikaji : Pasien hanya berbaring ditempat tidur.
13. Kebutuhan bermain dan rekreasi
Sebelum sakit : Pasien tidak biasa bermaian ataupun rekreasi
Saat dikaji : Pasien tidak bisa pergi kemana - mana, hanya tetangganya sering menjenguk di RS untuk menghibur.
14. Kebutuhan Belajar
Sebelum Sakit : Pasien tidak tahu tentang penyakit PPOK yang dideritanya
Saat dikaji : Pasien sudah tahu tentang penyakit yang dideritanya karena penjelasan perawat.
C.Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : compos mentis,TD 130/80mmHg, RR 28x/menit, suhu 37 C, N :104x/menit
2. Kepala
a. Kepala : mesosephal
b. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut,
c. Mata : Bulu mata tidak mudah dicabut, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, palpebra dekstra udem dan spasme, oedem pada kornea dekstra.
d. Hidung : tampak terpasang kanul O2 (2L/menit)
e. Telinga : Besih, tidak ada serumen, reflek suara baik.
f. Mulut : Gigi kekuningan, lengkap, tidak ada stomatitis.
g. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroiddan tidak ada pembengkakan pada trakhea
h. Ektremitas : tidak ada oedem pada kedua ekstremitas atas dan bawah.
Ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus RL 7 ttes/menit
3. Dada
a. Paru
1) Inspeksi
Bentuk dada simetris
Tampak RR 28x/menit
2) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru
Tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi
Hipersonor
Hipersonor
4) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi
D.Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
AGD
a) PH = 7,359 (7,35-7,45)
b) PCO2 = 46,0 (35-45)
c) PO2 = 115,0 (80-104)
d) HCO3 = 25
Sputum BTA ( - )
2. Terapi
a) Terapi infus : RL Dextro 5 % 1:1/24 jam (7 tetes/menit)
b) Terapi injeksi :
Aminiphylin 1 amp/24 jam
Tarbulatin 4x0,025mg
Ciproflaxosin 2x 500 mg
c) Terapi Oksigen
Nebulizer 4x (atroven : agua) = 1:1 ,O2 2L/menit
d) Diet TKTP
E.Analisa Data
NO | DATA FOKUS | ETIOLOGI | PROBLEM |
1. 2. 3. | DS : Pasien mengatakan sesak nafas sejak 5 tahun yang lalu. DO: ps. Tampak sesak nafas/dispneu ,tampak menggunakan alat bantu pernafasan kanul O2 , RR: 28 x/m, wheezing(+), Ronchi(+) DS: ps. Mengatakan sering batuk DO: p stampak batuk , batuk tampak ada lendir putih DS : pasien mengatakan kesulitan nafas DO: PCO: 46 ,PO2 : 115 | Hiperventilasi Adanya mukus Ventilasi perfusi | Ketidak efektifan pola nafas Bersihan jalan nafas tidak efektif Gangguan pertukaran gas |
F.Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus
3. Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi
G.Intervensi
NO DX | DIAGNOSA | NOC | NIC |
1. | Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi (00032) | Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam masalah ketidakefektifan pola nafas teratasi Kriteria : 1.RR normal 16-24 2. Adanya kesimetrisan ekspansi dada 3. Tidak menggunakan otot nafas tambahan 4. Tidak ada pernafasan cuping hidung saat beraktifitas 5. Tidak ada nafas pendek | Airway Management 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu 3. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 5. Atur intake untuk cairan mengoptimalkankeseimbangan. 6. Monitor respirasi dan status O2 7. Berikanbronkodilator bila perlu (amonophilin 1 amp/24 jam) |
2 | Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus | Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam masalah bersihan jalan nafas tidak efektif dapat teratasi Kriteria : 1. RR normal 2. Tidak ada kecemasan 3.Mampu membersihkan secret 4. Tidak ada hambatan dalam jalan nafas 5. Tidak ada batuk | Airway Management Intervensi : 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 3. Berikan minum hangat kepada pasien 4. Ajarkan batuk efektif 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan |
3 | Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi | Setelah dilakukan tindakan keperawtan 2x24 jam masalah gangguan pertukaran gas teratasi Kriteria : Status pernafasan: pertukaran gas 1. Kemudahan bernafas 2. tidak ada sesak nafas dalam istirahat 3. tidak ada sesak nafas saat beraktivitas 4.Tidak ada kelelahan 5.Tidak ada sianosis 6.PaCO2 DBN (35-45) 7.PaO2 DBN (80-104) | Monitoring pernafasan : 1. Monitor rata-rata, ritme, kedalaman, dan usaha pernafasan 2. Monitor pola nafas :bradipnea, takipnea, 3. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru 4. Perkusi dada anteriordan posterior dari apeks sampai bawah 5. Auskultasi suara pernafasan, catat area yang mengalami penurunan ventilasi dan adanya suara tambahan 6. Monitor adanya dispnea dan kejadian yang meningkatkan dan memperburuk keadaan pasien 7.tidur menyamping untuk mencegah aspirasi |
H. IMPLEMENTASI
TANGGAL | DIAGNOSA | IMPLEMENTASI | EVALUASI |
Ketidakefektifan pola nafas bd hiperventilasi (00032) | Airway Management 1. Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Melakukan fisioterapi dada jikaperlu 3. Mengeluarkan sekret dengan batuk atau suction 4. Melakukan pemeriksaan auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 5. Mengatur intake untuk cairan mengoptimalkankeseimbangan. 6. Monitor respirasi dan status O2 7. Memberikan bronkodilator bila perlu (amonophilin 1 amp/24 jam) | ||
Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus | 1. Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Melakukan fisioterapi dada jika perlu 3. Memberikan minum hangat kepada pasien 4. Mengajarkan batuk efektif 5. Melakukan pemeriksaan auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan | ||
Gangguan pertukaran gas bd ventilasi perfusi | Monitoring pernafasan : 1. Memonitor rata-rata, ritme, kedalaman, dan usaha pernafasan 2. Memonitor pola nafas :bradipnea, takipnea, 3. Melakun Palpasi kesimetrisan ekspansi paru 4. Melakukan Perkusi dada anteriordan posterior dari apeks sampai bawah 5. Melakukan pemeriksaa auskultasi suara pernafasan, catat area yang mengalami penurunan ventilasi dan adanya suara tambahan 6. Memonitor adanya dispnea dan kejadian yang meningkatkan dan memperburuk keadaan pasien 7.tidur menyamping untuk mencegah aspirasi |
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
(PPOK) Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat refersible. Penyebab terjadinya (PPOK) penyakit paru obstruksi kronis bisa karena kebiasaan merokok, populasi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
3.2 Saran
Sebaiknya untuk mencegah terjadinya PPOK harus terhindar dari merokok untuk mencapai hidup yang sehat, dan paru-paru dapat bekerja dengan baik. Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugasserta melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri
DAFTAR PUSTAKA
http://godiespingiton.blogspot.co.id/2014/08/asuhan -keperawatan-pada-pasien-dengon.htm?m=1
https://mantrimuda09.blogspot.co.id/2015/09/asuhan-keperawatan-pada-tns-dengan.html?m=1
https://
ainicacahayamata.wordpress.com/nursing-anly/keperawatan-medikal-bedah.kmb/asuhan-keperawatan-pada-tn-2-dengan –gangguan- system-penyakit paru-obsteruktif-kronis-ppok-breating/
0 komentar