Minggu, 18 November 2018

Asuhan keperawatan Edema Paru ( Acute Lung Oedema ) KMB

Asuhan Keperawatan pada Pasien
Acute Lung Oedema







BAB II
PEMBAHASAN

A.           Anatomi Fisiologi
Secara harafiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke sel-sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses pernapasan terdiri dari beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting. Pada dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yang merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem kardiovaskuler.
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada dindingnya, (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan (3) sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh suatu jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan cairan ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam hukum starling.

B.  Definisi Edema Paru Akut
Edema, pada umumnya berarti pembengkakan. Edema secara khas terjadi ketika cairan-cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh daerah merembes keluar jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Hal ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan di dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak adanya protein-protein yang cukup di dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian di dalam darah yang tidak mengandung segala sel-sel darah). Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga intertisial maupun dalam alveoli. Edema merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar dan menimbulkan dispnu yang sangat berat (Smeltzer, 2001).
Edema paru akut (acute lung oedema) atau ALO yaitu akumulasi cairan paru-paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskuler yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membrane kapiler (edema paru non kardiak) yang meningkatkan terjadinya ekstravasi cairan secara cepat. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut diatas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. Edema paru akut yaitu suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi (Bambang S dkk: 2006).
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravascular. Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru. Cairan ini terkumpul banyak di dalam kantung-kantung udara di paru-paru, sehingga sulit untuk bernafas. Tetapi cairan dapat menumpuk karena alasan lain seperti, Pneumonia, paparan terhadap racun tertentu, obat-obatan, dan olahraga atau pola hidup pada ketinggian tertentu (Mavo, 2011).

C.           Etiologi
1.    Ketidakseimbangan “Starling Force
a.    Peningkatan tekanan vena pulmonalis. Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia, sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis yaitu antara 8 sampai 12 mmHg, yang merupakan batas aman dari muai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain, tanpa gagal ventrikel kiri (misal: stenosis mitral), sekunder akibat gagal ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).
b.    Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstisial, sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.
c.    Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial. Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Keadaan yang sering menjadi etiologi yaitu, (1) Perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negative yang besar. Keadaan ini disebut “edema paru re-ekspansi”. Edema biasanya terjadi unilateral dan sering kali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan “edema paru re-ekspansi” ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2) Tekanan negative pleura yang besar akibat obstruksi jalan napas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronchial) (Bambang S dkk: 2006).
2.    Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan “Starling Force”
a.    Pneumonia (bakteri, virus, parasit);
b.    Terisap toksin (NO, asap);
c.    Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi;
d.   Aspirasi asam lambung;
e.    Pneumonitis akut akibat radiasi;
f.     Zat vasoaktif endogen (histamine, kinin);
g.    Disseminated Intravascular Coagulation;
h.    Immunologi: pnemonitis hipersensitif;
i.      Shock-lung pada trauma non thoraks;
j.      Pankreatitis hemoragik akut (Bambang S dkk, 2006).
3.    Insuffisiensi Sistem Limfe
a.    Pasca transplantasi paru;
b.    Karsinomatosis limfangitis;
c.    Limfangitis fibrotic (silikosis) (Bambang S dkk, 2006).
4.    Tidak Diketahui atau Belum Jelas Mekanismenya
a.    “High Altitude Pulmonary Edema”;
b.    Edema paru neurogik;
c.    Over dosis obat narkotik;
d.   Emboli paru;
e.    Eklampsia;
f.     Pasca kardioversi;
g.    Pasca anastesi;
h.    Post cardiopulmonary bypass (Bambang S dkk: 2006).

D. Patofisiologi 






Perubahan yang dini pada edema paru adalah peningkatan aliran limfatik. Karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang mengelilingi arteriol paru dan saluran nafas yang kecil, pembengkakan saluran limfatik ini akan memberi dampak pada struktur disekitarnya dengan akibat perubahan hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah obstruksi pada saluran nafas kecil yang telah dibuktikan merupakan perubahan fisiologis dini pada penderita dengan gagal jantung kiri. Karena lesi ini tidak merata disaluran paru, timbullah dalam distribusi ventilasi dan perfusi yang kemudian menyebabkan hipoksemia ringan. Terkenanya arterior kecil juga dapat menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung kiri yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada penderita dalam posisi tegak.
Kalau terbentuknya cairan intertensial melebihi kapasitas sistem limfatik, akan terjadi edema di dinding alveolar. Pada fase ini compliance (pemenuhan) paru bekurang. Hal ini akan menyebabkan takipnea, yang mungkin merupakan tanda klinik dini penderita edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan pemburukan hipoksemia. Namun demikian ekskresi karbon dioksida tidak terganggu, dan penderita akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratori. Selain hal yang telah disebutkan diatas, defek fungsi juga mempunyai andil, dan pada fase ini mungkin akan terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melaui alveoli yang tidak mengalami ventilasi.
Pada fase alveolar flooding, semua gambaran menjadi lebih berat, compliance akan menurun dengan nyata. Karena alveoli terisi dengan cairan, sementara aliran darah ke daerah tersebut tetap berlangsung, pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksemia yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi peningkatan, konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratori akan tetap berlangsung. Secara radiologis akan tampak infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh paru, terutama didaerah perihilar dan basal.
Kongesti paru terjadi bila vaskuler paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan, yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Sedikit ketidakseimbangan antara aliran masuk pada sisi kanan dan aliran keluar pada sisi kiri jantung mengakibatkan konsekuensi yang berat. Perkembangan edema paru menunjukkan bahwa fungsi jantung sudah sangat tidak adekuat, peningkatan tekanan akhir diastole ventrikel kiri dan peningkatan tekanan vena pulmonal dapat terjadi. Hal ini meningkatkan tekanan hidrostatik yang mengakibatkan cairan merembes keluar. Gangguan limfatik berperan dalam penimbunan cairan di dalam jaringan paru.
Kapiler paru yang membesar oleh darah yang berlebih akibat ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa, tidak mampu lagi mempertahankan zat yang terkandung didalamnya. Cairan, mula-mula serous dan kemudian mengandung darah, lolos kejaringan alveoli disekitarnya melalui hubungan antara bronkhioli dan brnkhi. Cairan ini kemudian bercampur dengan udara dan terkocok selama pernafasan, dan dikeluarkan melalui mulut dan hidung. Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang dan udara tidak dapat masuk, akibatnya adalah hipoksia berat.

E.  Manifestasi Klinis
Gejala-gejalanya dapat terdiri dari:
1.    Gejala yang ditimbulkan akibat kegagalan jantung untuk memenuhi oksigenisasi maka terjadi gejala-gejala hipoksemia serebri berupa menurunnya kesadaran, hipoksemia miokard menimbulkan gejala-gejala anginal dan hipoksemia renal berupa gejala kegagalan ginjal.
Sedangkan gejala-gejala edema paru sendiri yaitu:
a.    Kardiak asma
Sesak terjadi secara tiba-tiba. Biasanya bersifat nocturnal dan ortopne, berkeringat dingin, wheezing dapat didengar pada seluruh paru. Batuk-batuk dengan ekspektorasi disebababkan oleh karena bendungan paru. Kadang-kadang terdapat hemoptisis atau berupa bloody sputum.
b.    Tanda-tanda serebral timbul oleh karena penurunan curah jantung (cardiac output) sehingga timbul stupor, koma ataupun depresi mental.
c.    Gejala-gejala kardiovaskuler dapat terjadi sindroma shock (Tabrani Rab: 1998).
2.    Mengumpulnya berbagai zat toksik oleh karena kegagalan fungsi transportasi zat-zat sisa.
a.    Berkurangnya substrat yang dipengaruhi jaringan terutama glukosa sehingga jaringan dalam hal ini mempergunakan sumber energi lainnya misalnya lemak dan protein. Kekurangan substrat ini hanya terjadi bila akibat kegagalan aliran darah.
b.    Pengangkutan zat sisa yang tidak dapat dilakukan tubuh disebabkan oleh dua hal, yakni:
1)   Peranan mikrosirkulasi dan tranportasi sisa-sisa bahan makanan tidak sempurna.
2)   Fungsi ekskresi dari ginjal tidak sempurna (Tabrani Rab: 1998).
Kedua hal ini disebabkan oleh karena gangguan himodinamik.
Manifestasi kilinis edema paru secara spesifik juga dibagi dalam tiga stadium:
1.    Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas  yang tertutup pada saat inpirasi (Ningrum).
2.    Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil., terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat (Ningrum: 2009).
3.    Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat  terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonaryshunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin digunakan dengan hati-hati (Ningrum: 2009).
F. Penatalaksanaan
1.  Medis
a.   Pemberian oksigen tambahan
Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan hipoksia dan dyspnea;
b.  Farmakoterapi
1)   Diuretik
a)   Furosemide (lasix): diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah di pembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali kejantung, bahkan sebelum terjadi efek diuretic.
b)   Bumetanide (Bumex) dan diuril (sebagai pengganti furosemide)
2)   Digitalis
a)   Digoksin
b)   Digokain: untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah ventrikel kiri.Perbaikan kontraktilitas jantung akan meningkatkan curah jantung, memperbaiki dieresis dan menurunkan tekanan diastole, jadi tekanan kapiler paru dan transudasi atau perembesan cairan ke alveoli akan berkurang.
c)   Aminofilin: bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti untuk merelaksasi bronco spasme. Aminofilin diberikan secara IV secara terus menerus dengan dosis sesuai berat badan.
3)   Pemasangan Indelwing catheter: Kateter dipasang dalam beberapa menit karena setelah diuretic diberikan akan terbentuk sejumlah besar urin.
4)   Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik: Jika terjadi gagal nafas meskipun penatalaksanaan telah optimal, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik (PEEP=Tekanan Ekspirasi Akhir Positif)
5)   Pemantauan hemodinamika invasive: Pemasangan kateter swan-ganz untuk pemantauan CVP, tekanan arteri pulmonalis dan tekanan baji arteri pulmonalis, suhu, SvO2. Dapat dipergunakan untuk menentukan curah jantung, untuk pengambilan contoh darah vena dan arteria pulmonalis, dan untuk pemberian obat. Jalur vena ini dapat digunakan untuk pemberian cairan. Asupan cairan selalu terpantau.
6)   Pemantauan hemodinamika
Suatu metode yang penting untuk mengevaluasi volume sekuncup dengan penggunaan kateter arteri pulmonal multi-lumen. Kateter dipasang melalui vena cava superior dan dikaitkan ke atrium kanan. Balon pada ujung kateter lalu dikembangkan, sehingga kateter dapat mengikuti aliran darah melalui katup trikuspidalis, ventrikel kanan, katup pulmonal, ke arteri pulmonalis komunis dan kemudian ke arteri pulmonal kanan atau kiri, akhirnya berhenti pada cabang kecil arteri pulmonal. Balon kemudian dikempiskan begitu kateter telah mencapai arteri pulmonal, kemudian diplester dengan kuat. Tekanan direkam dengan balon pada posisi baji pada dasar pembuluh darah pulmonal. (tekanan baji kapiler rata-rata 14 dan 18 mmHg menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang optimal). Pembacaan bentuk gelombang dan tekanan dicatat selama pemasangan untuk mengidentifikasi letak kateter dalam jantung.
2. Keperawatan
a. Berikan dukungan psikologis
1) Menemani pasien;
2) Berikan informasi yang sering, jelas tentang apa yang sedang dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap pengobatan.
b. Atur posisi pasien
1) Pasien diposisikan dalam posisi tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah, sebaiknya kaki menggantung disisi tempat tidur, untuk membantu arus balik vena ke jantung.
c. Auskultasi paru
d. Observasi hemodinamik non invasive/ tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, tekanan vena jugularis)
e. Pembatasan asupan cairan pada klien.
f. Monitor intake dan output cairan tubuh klien
g. Catat tekanan yang direkam dengan balon kateter arteri pulmonal multi-lumen pada posisi baji pada pembuluh darah pulmonal.


BAB III
GAMBARAN KASUS

Riwayat Penyakit:
Ny. S (41 tahun) mengalami keluhan sesak napas saat beraktivitas sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk, mual, muntah, berkeringat dingin, merasa gelisah, dada berdebar-debar dan mengaku setiap harus tidur menggunakan 2 bantal agar tidak sesak. Sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada 18 Maret 2013 pukul 07.15, pasien apnea kemudian dilakukan RJPO selama ± 15 menit. Pasien dipindah ke ICCU. 
1.    Keluhan utama
a.       Saat masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas saat beraktivitas, batuk, mual, muntah, berkeringat dingin, merasa gelisah, dada berdebar-debar dan mengaku setiap harus tidur mengaku setiap harus tidur menggunakan 2 bantal agar tidak sesak. Sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
b.      Saat pengkajian pasien mengeluh badan lemas dan batuk, pasien mengatakan sesak.
2.    Riwayat kesehatan
a.       Riwayat penyakit masa lalu
Klien mengatakan sebelumnya pernah masuk rumah sakit bulan oktober 2012 karena keluhan yang sama (sesak). Riwayat hipertensi sejak ± 2 tahun lalu. Pasien tidak rutin kontrol dan hanya datang berobat ke mantri hanya jika klien merasa sesak yang berat. Klien tidak tahu nama obatnya. Riwayat DM (-).
b.      Riwayat penyakit sekarang
Menurut keluarga pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien sering mengeluh sesak. Sesak saat beraktivitas, istirahat dan disertai keringat dingin. Hipertensi sejak ± 2 tahun, riwayat DM dan jantung tidak ada. Klien tidak merokok dan minum alkohol.

c.       Riwayat penyakit keluarga
Keluarga tidak pernah mengalami penyakit yang dialami klien saat ini dan tidak ada generasi sebelumnya yang menderita hipertensi, DM atau penyakit keturunan yang lainnya.
  1. Pengkajian
1. Pengkajian primer
A: jalan napas tidak paten., ada penumpukan sekret di jalan napas, napas sesak, batuk (produktif).
B: 36x/menit, menggunakan otot bantu napas, dalam, menggunakan pernapasan cuping hidung, terdengar stridor, ronkhi pada lapang dada, penurunan tekanan ekspirasi.
C: Tekanan darah= 170/100 mmHg, nadi= 120x/menit, irregular, halus teraba di arteri radialis, cepat, CRT > 3 detik.
D: Penurunan kesadaran, tingkat kesadaran apatis, GCS (E3 M4 V5), pasien gelisah.
E: Tidak ada jejas seluruh tubuh.
2.    Pengkajian sekunder
  1. Pemeriksan fisik:
1)      Keadaan umum: klien tampak rapi dengan wajah pucat
a)      Tanda-tanda vital
TD: 170/100 mmHg
N: 120x/ menit
RR: 36x/menit
  1. TB: Tidak terkaji, BB: Tidak terkaji
  2. Kesadaran: Apatis,  GCS (E3 M4 V5)
3.    Pemeriksaan Head To Toe
a.       Kepala: bentuk kepala simetris, penyebaran rambut merata, rambut bersih, tidak ada lesi, rambut beruban tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa dan pembengkakan.
1)      Mata: bentuk simetris, sclera ikterik -/-, konjungtiva anemis +/+, reflek cahaya +/+, pupil isokor, tidak ada nyeri tekan.
2)      Wajah: bentuk simetris dan tampak pucat
3)      Hidung: septum simetris, sekret -/-, sumbatan -/-, PCH (-), terpasang O via nasal canule 4 lpm, tidak ada nyeri tekan.
4)      Telinga: telinga simetris, jejas (-), lesi (-), rhinorea (-), nyeri tekan tidak ada.
5)      Mulut: mukosa bibir lembab, tidak ada sariawan, sianosis (-), tonsil tidak kemerahan, gigi dan lida bersih.
6)      Tenggorokan: tidak ada nyeri tekan.
7)      Leher: trachea simetris, rigiditas (-), pembesaran vena jugularis ± 3cm, nyeri tekan pada kelenjar limfe.
b.      Thoraks
Paru-paru:
I: Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris, retraksi otot dada (+), tidak ada lesi, penggunaan otot bantu pernapasan, penurunan tekanan ekspirasi.
P: Nyeri tekan (+), vocal vremitus teraba.
P: Terdengar hipersonor pada lapang paru kanan dan kiri.
A: Ronkhi.
c.       Jantung: Tidak terlihat pulsasi ictus cordis, nyeri tekan (-), ictus cordis teraba di ICS V mid klavikula kiri ± 2cm, terdengar dullness pada ICS IV sternum dekstra dan sinistra, ICS V mid clavikula line sinistra, ICS V di anterior  axial line, sinistra ICS V mid axial line sinistra, bunyi jantung I dan II tunggal.
d.      Abdomen: Bentuk flat, jejas (-), bising usus (+) 10x/menit, distensi abdomen (-), asites (-), tidak ada pembesaran pada hepar dan lien, nyeri tekan (-), timpani.
e.       Ekstremitas: Edema, akral hangat, terpasang IVFD Nacl 0,9% 10 tts/mnt, kekuatan otot, reflek tidak terkaji, jejas (-), nyeri tekan (-), CRT > 3 detik.
f.       Genetalia: Terpasang dolver kateter terhubung urobag, memakai pampers, PU (+) 400 cc/4jam berwarna kuning jernih, anus tidak terkaji.
g.      Integument: Turgor kulit normal, akral hangat, tidak ada kelainan kulit, jejas (-).
4.    Pemeriksaan penunjang
a.       Darah lengkap
Leukosit: 10.900/ml (N: 3500-10.000/ml)
Hemoglobin: 11,1 gr/dl (N: 11-16,5 gr/dl)
Hemotokrit: 35,5% (N:35-50%)
Trombosit: 276.000/ml (N:150.000-390.000/ml
b.      BGA
pH: 7,236 (N: 7,35-7,45)
pCO2: 67,6 mmHg (N: 35-45 mmHg)
pO2: 65,8 mmHg (N: 80-100 mmHg)
HCO3: 29,6 mmol/L (N: 21-28 mmol/L)
SaO2: 90,1% (N: >95%)
BE: 0,7 mmol (N: -3-(+3))
c.       Kimia darah
Kolesterol total: 174 mg/dl (N: 130-220 mg/dl)
Kolesterol HDL: 35 mg/dl (N: >50 mg/dl)
Kolesterol LDL: 121 mg/dl (N: <150 mg/dl)
Trigliserida: 50 mg/dl (N: 34-143 mg/dl)
Asam urat: 8,5 mg/dl (N: 2-6 mg/dl)
d.      Foto rontgen
Hasil foto: rontgen didapatkan gambaran berkabut pada lapang paru, butterfly appereance.
CTR:
Diketahui a: 6,5 cm, b: 7 cm, c: 25,5 cm
Ditanya: CTR?
Jawab: CTR= a+b/c x 100%
= 6,5+7/25,5 x 100%
= 52.9% (N: 50%)
Kesimpulan: terdapat pembesaran jatung (kardiomegali)
e.       EKG
Interpratasi EKG
1)      Irama: jarak antara QRS dengan QRS’ sama jadi irama regular
2)      Frekuensi: 300/ jumlah kotak besar antara R dan R’ atau 150/jumlah kotak kecil antara R dan R’
3)      Gel P: 3 kotak x 0,04 s= 0,12 s Gel. P tinggi (3 kotak)= P pulmonal.
(menunjukkan adanya hipertropi atrium kanan (L II, III, AVF/inferior). P mitral di V1)
4)      Gel QRS: 1 kotak x 0,04 s = 0,04 s
5)      Interval PR: 3 kotak x 0,04 s = 0,12 s (normal)
6)      T inversi: di V4 (iskemik)
7)      Q patologis: -
8)      ST elevasi: -
9)      ST depresi: V4 dan V5 (iskemik)
10)  Axis
Lead I dan AVF
Lead I : R : 13              13 + 0 = 13
S : 0
AVF : R : 8                 8 + (-5) = 3
S : -5
Sumbu jantung: ± 90 (N: -30 sampai 110)
Kesimpulan: Axif: α = 10 (normal)
f.        Terapi
Furosemid: 40-0-0 mg
Spiromolacton: 25 mg
ISDN: 3 x 10 mg
Captopril: 3 x 10 mg
Ceftriaxon: 2 x 1 gr (IV)
GG: 3 x 100 gr
Azythromycin: 1 x 500 gr
Combivent nebule: 2x/hari
Analisa Data
No
Data
Pohon Masalah
Diagnosa
1.
DS:
-          Pasien mengatakan sesak napas
-          Pasien mengatakan batuk
DO:
-          RR 36x/menit
-          TD 170/100 mmHg
-          Nadi 120x/menit
-          Kedalaman= dalam
-          Takipnea
-          Bunyi napas ronkhi
-          Irama= irregular
-          Pernapasan cuping hidung
-          Penurunan tekanan ekspirasi
Akumulasi cairan berlebih
Cairan menumpuk di rongga pleura
Penurunan ekspansi paru
Penurunan O ke seluruh jaringan
Ketidakefektifan pola napas
2.
DS:
-          Pasien mengatakan sesak napas
-          Pasien mengatakan cepat lelah
-          Pasien mengatakan nyeri saat dilakukan palpasi
DO:
-          pH = 7,23, pcO2 = 67,6, mmHg, pO2 = 65,8 mmHg, HCO3 = 29,6 mmol/L
-          RR= 36x/menit, dalam, irregular
-          Hiperkapnia
-          Hipoksia
-          Napas cuping hidung
-          Pasien tampak pucat, gelisah
-          Apatis, GCS (E3 M4 V5)
-          Hasil rontgen tampak gambaran berkabut pada lapang paru
Akumulasi cairan berlebih
Menumpuk di paru
Alveoli berisi cairan
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas

B.       Diagnosa Keperawatan
1.    Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam paru.
2.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).

C.           Intervensi
1.    Diagnosa keperawatan I
Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan: pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi napas terdengar jelas.

Rencana Tindakan:
a.    Identifikasi faktor penyebab
Rasional: dengan mengidentifikasi penyebab, kita dapat mengambil tindakan yang tepat.
b.    Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
Rasional: Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
c.    Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 sampai 90 derajat.
Rasional: Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekpansi paru bisa maksimal.
d.   Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).
Rasional: Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
e.    Lakukan auskultasi suara napas tiap 2 sampai 4 jam.
Rasional: Auskultasi dapat menentukan kelainan suara napas pada bagian paru-paru.
f.     Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan napas dalam yang efektif.
Rasional: Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau napas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
g.    Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O dan obat-obatan serta foto thorax.
Rasional: Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernapasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.
2.    Diagnosa keperawatan II
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolus (perpindahan cairan ke dalam area interstitial/alveoli).
Tujuan: Pertukaran gas efektif
Kriteria Hasil: Menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh GDA/oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan.
Rencana Tindakan:
a.       Auskultasi suara napas, catat adanya krekels.
Rasional: Menunjukkan adanya bendungan pulmonal/ penumpukan sekret yang membutuhkan penanganan lebih lanjut.
b.      Atur posisi fowler dan bed rest
Rasional: merangsang pengembangan paru secara maksimal.
c.       Pantau/ gambarkan seri GDA, nadi oksimetri
Rasional: hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru
d.      Collaborative pemberian O sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan konsentrasi O alveolar yang akan mengurangi hypoxemia jaringan.
e.       Collaborative pemberian obat diuretic.
Rasional:  mengurangi bendungan alveolar sehingga meningkatkan pertukaran gas bronkodilator.
Rasional: meningkatkan pemasukan O dengan jalan dilatasi saluran napas.

D.           Implementasi
1.    Diagnosa 1
a.    Mengidentifikasi faktor penyebab
b.    Mengkaji setiap kualitas, frekuensi dan kedalaman pernapasan, melaporkan setiap perubahan yang terjadi.
c.    Mengatur posisi pasien yang nyaman
d.   Mengobservasi tanda-tanda vital
e.    Melakukan auskultasi suara napas tiap 2 sampai 4 jam
f.     Membantu dan mengajarkan pasien untuk batuk efektif atau napas dalam
2.    Diagnosa 2
a.    Mendengarkan suara napas dan mencatat krekels
b.    Mengatur posisi fowler dan bed rest
c.    Memantau atau menggambarkan seri GDA , nadi oksimetri
d.   Memberikan O sesuai indikasi

E.       Evaluasi
1.      Diagnosa 1
S: Pasien mengatakan sesaknya sudah berkurang, pasien mengatakan batuknya sudah berkurang, pasien mengatakan sudah tidak mual muntah.
O: RR 22x/menit, TD= 130/90 mmHg, nadi= 100x/menit, sudah tidak menggunakan otot bantu pernapasan, irama= regular, inspirasi sama dengan ekspirasi.
A: Masalah ketidakefektifan pola napas pasien teratasi
P: Intervensi selesai.
2.      Diagnosa 2
S: Pasien mengatakan sasak napas berkurang, pasien mengatakan sudah tidak lelah dan lemas, pasien mengatakan sudah tidak nyeri.
O: pH= 7,35, pCO2= 43 mmHg, pO2= 85 mmHg, HCO3= 27 mmol/L, CRT > 3 detik, RR 22x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung, kesadaran compose mentis GCS (E4 M5 V6), pasien tampak sudah tidak gelisah.
A: masalah pertukaran gas teratasi.
P: Intervensi selesai.




BAB IV
PENUTUP

A.           Simpulan
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru. Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada di dalam kedaruratan respirasi ancaman gagal nafas. AlO merupakan kegawatan yang mengancam nyawa dimana terjadi akumulasi di interstisial dan intra alveoli paru disertai hipoksemia da kerja nafas yang meningakat. Edema paru disebabkan oleh ketidakseimbangan starling forces, perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (adult respiratory distress syndrome), insufisiensi limfatik, dan penyebab yang tidak di ketahui atau tidak jelas. Edema paru dibedakan menjadi dua sebab yaitu kardiogenik dan non kardiogeneik. Edema paru terjadi ketika alveoli di penuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Manifestasi klinis dari edema paru di bagi menjadai tiga kategoriyakni, stadium 1, stadium 2, dan stadium 3.

B.            Saran
Dengan di buatnya makalah edema paru ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat pbagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawaatan terutama pada pasien yang mengalami gangguan edema paru. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini  masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifa membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat bag penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E and Marry Frances Moorhouse. (2001). Pedoman Untuk Perencanaan Dan Dokumentasi Perawatan Klien edisi 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddart Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.

Soeparman, dkk. (1999). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI.

https://www.academia.edu/11585919/Asuhan_Keperawatan_Accute_Lung_Oedema_ALO_







0 komentar